Kuliah Sambil Jadi Guru Les? Siapa Takut


Doc. Google
Perubahan status menjadi mahasiswa telah membawa perubahan dalam peran yang dilakukan. Tidak lagi hanya sebagai penuntut ilmu, tetapi juga sebagai pemberi ilmu. Mahasiswa lebih dari sekadar siswa sekolah yang hanya mencari ilmu dari guru di sekolah atau dari buku pelajaran. Mahasiswa dituntut untuk bisa mencari ilmu sediri dengan dibantu dosen dan dari buku, serta bisa membagikan ilmunya kepada orang lain.
Waktu belajar yang longgar membuka kesempatan bagi mahasiswa melakukan berbagai kegiatan. Antar mahasiswa berlomba-lomba mengikuti berbagai kegiatan, baik demi prestise, sekadar kesenangan, atau pun mengisi kantong. Dari pihak universitas sendiri telah menyediakan wadah kegiatan bagi mahasiswa. Hal ini sangat menguntungkan bagi mahasiswa yang tidak hanya berkonsentrasi pada kegiatan akademis saja. Kegiatan di luar akademis yang menghasilkan uang, akan membuat mahasiswa lebih jatuh hati. Kebanyakan mahasiswa akan tetap mempertahankan kegiatan yang menghasilkan uang tersebut di samping juga harus tetap fokus dalam akademis.
Tutor atau yang lebih akrab di telinga dengan guru les ibarat lahan yang subur bagi mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengadu peruntungannya dengan menjadi guru les. Banyaknya anak-anak sekolah yang membutuhkan guru les dan bayarannya yang cukup membuat dompet tebal, telah memancing gairah mahasiswa untuk ikut terjun menjadi guru les.
Hanya dengan bermodalkan kemampuan dan kemauan tekad yang bulat, telah menggiring mahasiswa menjadi guru les seperti gadis ini. “Awalnya sih coba-coba, tahu banyak anak di kampungku butuh guru les dan minimnya guru les aja.” ugkap Dela Fahriana salah satu mahasiswi Falkutas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS yang menjadi guru les.
Bisa dibilang hampir semua seperti Dela, berawal dari adanya kesempatan yang kemudian muncul kemauan karena mempunyai kemampuan. Hingga sampailah ketika guru les itu telah menerima keuntungannya. Dompet yang semakin tebal dan otak yang semakin terasah memicu lahirnya rasa ketagihan untuk lanjut dan lanjut. Apalagi jika dilihat dari segi keuntungan keuangan yang didapat, dimana rata-rata sekitar Rp 200.000 – Rp 300.000 bisa masuk ke kantong. Dengan jumlah nominal yang seperti itu bisa membuat mahasiswa berkelimpahan.
Dengan nominal sebesar itu belum sepenuhnya bisa dikatakan sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa semakin meningkatnya status seseorang semakin besar pula tugas dan tanggung jawabnya. Itu yang dialami mahasiswa sekarang ini. Tugas kuliah menumpuk dengan tuntutan mendapat nilai yang tinggi, membuat mau tak mau mahasiswa yang memiliki kerja sampingan sebagai guru les harus mempunyai tenaga ekstra.
Waktu 24 jam saja dirasa kurang jika tugas-tugas kuliah mulai berdatangan secara seiringan. Apalagi ditambah harus berbagi waktu untuk diberikan kepada orang lain. Bisa-bisa tugas kuliah yang menumpuk itu terbengkalai begitu saja. Hal ini memang satu konsekuensi yang seakan tak bisa dihindarkan. Namun, tak ada masalah yang tak ada solusinya. Kegiatan akademis dan di luar akademis bisa berjalan beriringan dan seimbang apabila mahasiswa yang melakukannya pintar dalam membagi waktu. Kenikmatan kantong yang selalu tebal, otak semakin tajam, dan keberhasilan anak didiknya, ibarat suplemen yang menguatkan. 

Oleh : Linda Desy P
Editor : Sari Jauharoh

0 komentar: