Asean Literary Festival Goes to UNS, Menulis adalah Kebebasan
ALF goes to UNS: Diskusi
sastra dan workshop menulis fiksi di Ruang Seminar NH, Senin (4/5)
Asean
Literary Festival goes to UNS adalah kegiatan yang diselenggarakan ALF
bekerjasama dengan LPM Kentingan. Kegiatan yang berlangsung hari Senin (4/5) sejak
pukul 14.00 hingga pukul 18.00, digelar di Ruang Seminar Masjid Nurul Huda UNS.
Pesertanya bukan hanya dari kalangan mahasiswa, melainkan juga dari kalangan
pelajar dan umum. Dengan pembicara Okky Madasari—Pemenang Katulistiwa Literary
Award (KLA) untuk novelnya yang berjudul Maryam (2012), acara ini mengambil
tema “Berguru pada kata”.
Acara ini diawali dengan sambutan
ketua panitia, Inang Jalaludin. Inang mengungkapkan, kegiatan ini diadakan
untuk mencoba mengapresiasi dunia sastra serta mendiskusikan tentang sastra dan
karya sastra yang saat ini masih santer diperdebatkan.
Kemudian dilanjutkan oleh sambutan dan
pemaparan dari Rei Rahman Indra selaku Manajer Komunikasi ALF. Dalam sesi ini
Rei memaparkan, Asean Literary Festival adalah sebuah event yang digelar oleh Yayasan Muara, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan kebudayaan untuk keadilan dan kemanusiaan dengan
dukungan dari Kementerian Luar Negeri dan Hivos. Kegiatan yang baru berlangsung
dua kali yakni pada tahun 2014 dan di bulan Maret tahun ini, diselenggarakan
untuk mengenalkan dan memajukan sastrawan dari daerah-daerah di Indonesia.
Sementara ALF goes to UNS sendiri adalah rangkaian dari kegiatan ALF 2015 yang
diselenggarakan untuk membuat masyarakat lebih mengenal dunia sastra terutama
di daerah serta membuka cakrawala tentang dunia sastra sehingga diharapkan
timbul minat baca terhadap karya-karya sastra.
Di sesi selanjutnya, Okky Madasari—Pemenang
Katulistiwa Literary Award (KLA) untuk novelnya yang berjudul Maryam (2012) dan
selama 3 tahun dari 2011 hingga 2013 novel-novelnya menjadi kandidat KLA, mengadakan
diskusi sastra serta workshop menulis fiksi. Okky mengungkapkan, saat ini
banyak sekali perdebatan tentang sastra, baik itu mengenai apa yang disebut
karya sastra hingga tentang patokan apa yang digunakan untuk menentukan bagus
atau tidaknya suatu karya sastra. Sastra memang ditakdirkan untuk selalu
diperdebatkan. Ada orang yang menganggap bahwa semua tulisan itu adalah karya
sastra, namun ada pula orang yang mengelompokkan karya-karya sastra dengan
patokan-patokan tertentu.
Menurut
Okky, ia tidak membeda-bedakan karya sastra atas populer atau tidaknya, namun
lebih melihat pada substansi karya sastra itu sendiri. Menurutnya karya sastra
yang memiliki nilai lebih adalah karya sastra yang isinya membuat orang bertanya-tanya,
gelisah, dan berpikir setelah membacanya. Tapi ia juga tidak dapat menampik
bahwa dewasa ini karya-karya sastra yang bertemakan cinta, romansa dan picisan
lah yang banyak menguasai pasar.
Okky
tidaklah melarang lahirnya karya-karya sastra yang saat ini sedang diminati
pasar, namun yang harus diingat adalah apa yang ditulis oleh penulis pasti akan
mempengaruhi pembacanya. Penulis bertanggung jawab atas peradabannya. Ungkapan
ini hanya berlaku pada kondisi ideal karena pada kenyataannya masing-masing
penulis mempunyai motif, kemampuan, tujuan serta kepentingan yang berbeda-beda.
Penulis akan membuat karya yang hanya diminati pasar atau karya yang berbeda
dan menimbulkan banyak pertanyaan serta melawan ketidakadilan, itu adalah hak
dari masing-masing penulis. Peradaban yang ada bukan hanya ditentukan oleh
penulis, namun juga ditentukan oleh karya sastra seperti apa yang dipilih oleh pembaca.
Okky
juga mengungkapkan, sebagai seorang Novelis yang dapat dilakukannya adalah
perang wacana guna merebut kesadaran publik dan mengajak untuk lebih mencintai
peradaban.
Selain
diskusi sastra, workshop menulis fiksi juga dilakukan. Banyak mahasiswa yang
men-share karyanya dengan harapan
agar kedepannya karya-karya yang dihasilkan oleh mereka dapat lebih
terarah dan berkualitas.
-Reni Rahma-
-Reni Rahma-
0 komentar: